Di Bawah Langit Dukuh Sebatang

Siang itu turun hujan, di sebuah rumah yang berjarak dari jalan aspal, jauh dari jalan raya, juga tidak terpetakan dari pusat kota, saya duduk menonton tiga anak bermain lempar bola di teras. Pagi hari, penderes nira naik ke pucuk pohon kelapa, lalu turun memikul sajeng (air nira) dalam tabung-tabung kayu yang dipikul di pundak, melintasi jalanan berbukit terjal yang menukik dan berbelok tajam. Oleh mereka, sajeng ini disetor ke pengolah nira untuk dimasak dan diproduksi jadi gula merah.

Di rumah yang sedang saya ceritakan ini, hidup sepasang nenek dan kakek yang setiap hari mencetak gula merah. Saya bersama teman saya, Rizka, adalah pendatang yang mampir berteduh di rumah ini. Rizka lanjut membantu nenek yang dipanggil Si Mbah di dapur mengirisi tomat dan brambang untuk makan siang, bergantian dengan saya yang perlahan menjauh mencari ruang untuk memperhatikan. Cucu dari Si Mbah tadi, salah satunya adalah anak yang sedang saya perhatikan dari jauh. Ia memisahkan diri dari kedua temannya yang lain, duduk di sudut yang bersisian dengan saya.

“Kamu suka hujan?” Saya memeluk lutut sambil duduk merapat ke arahnya, mempersingkat jarak.

“Ndak, Mbak.” Ia menjawab singkat.

“Lebih suka musim panas?” Saya bertanya lagi. Ia hanya mengangguk singkat tanpa kata. Masih asing dengan kehadiran saya.

“Kenapa?” saya bertanya lagi. Semoga pekerjaan sehari-hari yang mengharuskan saya sering bertanya sampai jadi kebiasaan, tidak membuat anak kelas 4 SD ini dongkol. Ia menggeleng lagi, menghindari tatapan mata saya. Mungkin karena terdengar menguji seperti soal Bahasa Indonesia di buku LKS yang tidak ia sukai, sementara ia tidak tahu harus menjawab apa. Sementara hujan di luar masih turun dengan derasnya.

Kunjungan singkat saya selama dua hari ke Dukuh Sebatang, Desa Hargotirto, Kulonprogo, Yogyakarta kali ini adalah dalam rangka bertemu dengan adik asuh dalam program pendidikan Menyapa Indonesia yang dijalankan oleh penerima beasiswa LPDP RI. Layaknya anak-anak desa pada umumnya, anak-anak Sebatang pemalu di depan orang asing. Jangankan beropini, berbicara sambil memandang lurus mata orang yang mengajak berbicara pun tak berani.

Anak itu bernama Zandy, adik asuh yang dipasangkan oleh Rizka sebagai Kakak Inspirasi. Sementara saya sendiri menjadi Kakak Inspirasi bagi Rimba, seorang anak laki-laki berbadan tambuh yang lebih periang, namun sama curiganya dengan kehadiran orang baru yang tiba-tiba. Kami baru saja berkunjung ke rumah Rimba sebelum menghampiri rumah Zandy. Rimba dan Zandy adalah teman sekelas. Dari salah satu teman koordinator program saya diam-diam mencatat hasil pemetaan observasi, mereka senang bermain di luar ruangan; Rimba senang bersepeda dan Zandy senang bermain layangan.

“Nek hujan, ra iso main layangan po?” celetuk saya sambil curi pandang ke layangan kuning-biru besar di sudut ruangan. Memegangnya dengan hati-hati, takut merusak benda kesayangan Zandy yang berharga ini.

“Ho’oh,” merasa terbantu dengan pertanyaan yang dijawab sendiri oleh orang yang menanyakan, Zandy tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang besar-besar. Dua anak yang lain menghentikan permainan dan merapat ke perbincangan kami.

“Yo nyanyi wae lah nek ngono!” di tengah percikan hujan yang memantul-mantul di genteng, saya ambil tempo dengan tepukan tangan, bersiap memimpin paduan suara, “Ku ambil buluh sebatang.. Ku potong sama panjang.. Ku raut dan ku timbang dengan benang.. Ku jadikan layang-layang…”

Hening. Tidak ada yang pernah mendengar lagu itu sebelumnya kecuali saya, seseorang dengan usia yang berjarak, serta ruang kehidupan yang sebelumnya terpisah. Jauh.

Fungsi Pendampingan dalam Proses Belajar Anak adalah Tugas Bersama

Zandy, Rimba, Ridho, Shafiq, Edi, Bherta, Dwi Astari, dan Dwi Riyanti. 8 orang anak kelas 4 SD Muhammadiyah Menguri ini selama 3 tahun ke depan menjadi adik-adik asuh kami. Amanah baru bagi kami di Menyapa Indonesia.

Program Menyapa Indonesia adalah inisiatif sosial yang dikembangkan oleh awardee Beasiswa Pendidikan Indonesia dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Republik Indonesia. Setiap angkatan memiliki fokus yang pengembangan masyarakat yang berbeda, secara berkelanjutan selama tiga tahun. Jivakalpa, angkatan 43, fokus pada pengembangan masyarakat di bidang pendidikan dan kebudayaan di Sebatang. Cetak biru rencana kegiatan, pengembangan, dan monitoring evaluasi berkelanjutan telah dibuat dengan tidak main-main. Meski lokasi program Menyapa Indonesia kami berada di Yogyakarta, hampir setiap minggu ketika program berjalan, beberapa awardeedari luar kota menyempatkan hadir.

Forum Kakak dan Wali Inspirasi yang diselenggarakan pada tanggal 7 November 2015 ini merupakan salah satu program di bidang pendidikan. Forum tersebut mengundang orang tua dan wali siswa, siswa, guru, dan kepala sekolah untuk duduk bersama dan berdiskusi tentang pendampingan anak. Di dalamnya, anak-anak didorong untuk berprestasi, memiliki semangat belajar tinggi, dan berani mencoba melakukan hal-hal yang mereka sukai. Forum ini juga dijadikan ajang “kulo nuwun” untuk pendekatan pendamping anak dengan pihak sekolah dan keluarga.

“Dulu belum pernah ada pertemuan wali dengan sekolah. Setelah ada program Menyapa Indonesia, semua merasa memiliki program ini dan mau hadir di sini,” kata Bu Uji, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Menguri. Bu Uji ini adalah tipikal kepala sekolah yang aktif dan bersemangat mendampingi anak didiknya dalam proses belajar, namun masih belum mendapatkan dukungan maksimal dari orang tua dan wali murid.

Saya termenung. Masalah klasik yang jarang ditemui di kota karena setiap orang tua yang bayar mahal tentu rajin mencari tahu perkembangan anaknya di sekolah. Namun di desa, jangankan bertemu dengan pihak sekolah, untuk bertemu anak pun, banyak masih terhalang ruang dan waktu. Tuntutan ekonomi membuat beberapa orang tua siswa bekerja sebagai TKI di luar negeri, bertahun-tahun tidak pulang. Pun bekerja di sekitar desa, mata pencaharian sebagai supir truk, peternak, dan penderes nira cukup menyita waktu sehingga edukasi anak tersingkir ke nomor sekian setelah urusan perut dan kemelut kehidupan.

Padahal, tanpa pendamping, anak akan tumbuh menjadi burung yang melihat dunia dalam sudut sangkar yang persegi empat, ketika di luar sana ada horizon yang melintang tanpa sudut batas. Sempat saya iseng ngobrol dengan seorang bapak yang rumahnya kami tinggali untuk bermalam, tentang pendidikan anaknya. “Wah ndak tau, Mbak. Sekolahnya anak itu urusan ibunya anak-anak. Saya sibuk sama kerjaan e, Mbak.”  

Saya nyengir kuda. Lha kalau bapak berharap ke ibu, ibu  berharap ke guru, guru berharap ke kepala sekolah, kepala sekolah berharap ke kami, kami berharap ke siapa dong?

Lingkaran kejar-kejaran ini lumrah ditemui di berbagai pelosok di Indonesia. Oleh karenanya program pemberdayaan masyarakat idealnya digalang untuk berjalan dalam waktu panjang. Karena proses pendekatan, seperti yang siang itu saya lakukan kepada Rimba dan Zandy, memang tidak bisa secepat merebus mie instan, lima menit jadi, sepuluh menit kenyang.

Andai semudah itu…

Sepucuk Surat dan Khayalan tentang Masa Depan

Bagi saya dan teman-teman, hadir ke Sebatang bukan hanya perkara menyisihkan budget untuk transportasi dan waktu akhir pekan untuk berjalan lebih jauh. Tapi melihat bahwa ruang interaksi kami yang sempit ternyata bisa menjadi lebar jika sudah bertemu. Jika sudah kenal, dekat, saling percaya, maka fungsi pendampingan menjadi sesederhana menjadi teman sepermainan bagi semua pihak yang sedang berjuang di sana.

Salah satu usaha pendekatan yang kami lakukan adalah mengirimi surat motivasi kepada adik asuh di sana. Beberapa teman juga menjembatani tukar sapa antara teman-teman di UK dari asosiasi alumni LPDP, Mata Garuda, yang mengirimkan kartu pos kepada mereka. Semua anak mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika saya tanya siapa yang ingin ke Inggris. Sebelumnya, Mas Sandro bercerita di depan kelas tentang empat musim di Inggris ketika dia tinggal dan bekerja di sana. Surat dan cerita jadi bahan bakar kami mengkhayal tinggi-tinggi. Ke negeri yang tanahnya belum tersentuh, yang namanya tersohor lewat olahraga sepak bola yang setiap sore dimainkan anak-anak di Sebatang.

 

Siang itu turun hujan, di sebuah rumah yang berjarak dari jalan aspal, jauh dari jalan raya, juga tidak terpetakan dari pusat kota, saya duduk menonton tiga anak bermain lempar bola di teras. Pagi hari, penderes nira naik ke pucuk pohon kelapa, lalu turun memikul sajeng (air nira) dalam tabung-tabung kayu yang dipikul di pundak, melintasi jalanan berbukit terjal yang menukik dan berbelok tajam. Oleh mereka, sajeng ini disetor ke pengolah nira untuk dimasak dan diproduksi jadi gula merah.

Di rumah yang sedang saya ceritakan ini, hidup sepasang nenek dan kakek yang setiap hari mencetak gula merah. Saya bersama teman saya, Rizka, adalah pendatang yang mampir berteduh di rumah ini. Rizka lanjut membantu nenek yang dipanggil Si Mbah di dapur mengirisi tomat dan brambang untuk makan siang, bergantian dengan saya yang perlahan menjauh mencari ruang untuk memperhatikan. Cucu dari Si Mbah tadi, salah satunya adalah anak yang sedang saya perhatikan dari jauh. Ia memisahkan diri dari kedua temannya yang lain, duduk di sudut yang bersisian dengan saya.

“Kamu suka hujan?” Saya memeluk lutut sambil duduk merapat ke arahnya, mempersingkat jarak.

“Ndak, Mbak.” Ia menjawab singkat.

“Lebih suka musim panas?” Saya bertanya lagi. Ia hanya mengangguk singkat tanpa kata. Masih asing dengan kehadiran saya.

“Kenapa?” saya bertanya lagi. Semoga pekerjaan sehari-hari yang mengharuskan saya sering bertanya sampai jadi kebiasaan, tidak membuat anak kelas 4 SD ini dongkol. Ia menggeleng lagi, menghindari tatapan mata saya. Mungkin karena terdengar menguji seperti soal Bahasa Indonesia di buku LKS yang tidak ia sukai, sementara ia tidak tahu harus menjawab apa. Sementara hujan di luar masih turun dengan derasnya.

Kunjungan singkat saya selama dua hari ke Dukuh Sebatang, Desa Hargotirto, Kulonprogo, Yogyakarta kali ini adalah dalam rangka bertemu dengan adik asuh dalam program pendidikan Menyapa Indonesia yang dijalankan oleh penerima beasiswa LPDP RI. Layaknya anak-anak desa pada umumnya, anak-anak Sebatang pemalu di depan orang asing. Jangankan beropini, berbicara sambil memandang lurus mata orang yang mengajak berbicara pun tak berani.

Si Mbah mengolah nira jadi gula kelapa

Anak itu bernama Zandy, adik asuh yang dipasangkan oleh Rizka sebagai Kakak Inspirasi. Sementara saya sendiri menjadi Kakak Inspirasi bagi Rimba, seorang anak laki-laki berbadan tambuh yang lebih periang, namun sama curiganya dengan kehadiran orang baru yang tiba-tiba. Kami baru saja berkunjung ke rumah Rimba sebelum menghampiri rumah Zandy. Rimba dan Zandy adalah teman sekelas. Dari salah satu teman koordinator program saya diam-diam mencatat hasil pemetaan observasi, mereka senang bermain di luar ruangan; Rimba senang bersepeda dan Zandy senang bermain layangan.

“Nek hujan, ra iso main layangan po?” celetuk saya sambil curi pandang ke layangan kuning-biru besar di sudut ruangan. Memegangnya dengan hati-hati, takut merusak benda kesayangan Zandy yang berharga ini.

“Ho’oh,” merasa terbantu dengan pertanyaan yang dijawab sendiri oleh orang yang menanyakan, Zandy tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang besar-besar. Dua anak yang lain menghentikan permainan dan merapat ke perbincangan kami.

“Yo nyanyi wae lah nek ngono!” di tengah percikan hujan yang memantul-mantul di genteng, saya ambil tempo dengan tepukan tangan, bersiap memimpin paduan suara, “Ku ambil buluh sebatang.. Ku potong sama panjang.. Ku raut dan ku timbang dengan benang.. Ku jadikan layang-layang…”

Hening. Tidak ada yang pernah mendengar lagu itu sebelumnya kecuali saya, seseorang dengan usia yang berjarak, serta ruang kehidupan yang sebelumnya terpisah. Jauh.

Fungsi Pendampingan dalam Proses Belajar Anak adalah Tugas Bersama

Zandy, Rimba, Ridho, Shafiq, Edi, Bherta, Dwi Astari, dan Dwi Riyanti. 8 orang anak kelas 4 SD Muhammadiyah Menguri ini selama 3 tahun ke depan menjadi adik-adik asuh kami. Amanah baru bagi kami di Menyapa Indonesia.

Program Menyapa Indonesia adalah inisiatif sosial yang dikembangkan oleh awardee Beasiswa Pendidikan Indonesia dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Republik Indonesia. Setiap angkatan memiliki fokus yang pengembangan masyarakat yang berbeda, secara berkelanjutan selama tiga tahun. Jivakalpa, angkatan 43, fokus pada pengembangan masyarakat di bidang pendidikan dan kebudayaan di Sebatang. Cetak biru rencana kegiatan, pengembangan, dan monitoring evaluasi berkelanjutan telah dibuat dengan tidak main-main. Meski lokasi program Menyapa Indonesia kami berada di Yogyakarta, hampir setiap minggu ketika program berjalan, beberapa awardeedari luar kota menyempatkan hadir.

Forum Kakak dan Wali Inspirasi yang diselenggarakan pada tanggal 7 November 2015 ini merupakan salah satu program di bidang pendidikan. Forum tersebut mengundang orang tua dan wali siswa, siswa, guru, dan kepala sekolah untuk duduk bersama dan berdiskusi tentang pendampingan anak. Di dalamnya, anak-anak didorong untuk berprestasi, memiliki semangat belajar tinggi, dan berani mencoba melakukan hal-hal yang mereka sukai. Forum ini juga dijadikan ajang “kulo nuwun” untuk pendekatan pendamping anak dengan pihak sekolah dan keluarga.

Orang tua dan wali bersama siswa dalam forum

 “Dulu belum pernah ada pertemuan wali dengan sekolah. Setelah ada program Menyapa Indonesia, semua merasa memiliki program ini dan mau hadir di sini,” kata Bu Uji, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Menguri. Bu Uji ini adalah tipikal kepala sekolah yang aktif dan bersemangat mendampingi anak didiknya dalam proses belajar, namun masih belum mendapatkan dukungan maksimal dari orang tua dan wali murid.

Saya termenung. Masalah klasik yang jarang ditemui di kota karena setiap orang tua yang bayar mahal tentu rajin mencari tahu perkembangan anaknya di sekolah. Namun di desa, jangankan bertemu dengan pihak sekolah, untuk bertemu anak pun, banyak masih terhalang ruang dan waktu. Tuntutan ekonomi membuat beberapa orang tua siswa bekerja sebagai TKI di luar negeri, bertahun-tahun tidak pulang. Pun bekerja di sekitar desa, mata pencaharian sebagai supir truk, peternak, dan penderes nira cukup menyita waktu sehingga edukasi anak tersingkir ke nomor sekian setelah urusan perut dan kemelut kehidupan.

Padahal, tanpa pendamping, anak akan tumbuh menjadi burung yang melihat dunia dalam sudut sangkar yang persegi empat, ketika di luar sana ada horizon yang melintang tanpa sudut batas. Sempat saya iseng ngobrol dengan seorang bapak yang rumahnya kami tinggali untuk bermalam, tentang pendidikan anaknya. “Wah ndak tau, Mbak. Sekolahnya anak itu urusan ibunya anak-anak. Saya sibuk sama kerjaan e, Mbak.”  

Saya nyengir kuda. Lha kalau bapak berharap ke ibu, ibu  berharap ke guru, guru berharap ke kepala sekolah, kepala sekolah berharap ke kami, kami berharap ke siapa dong?

Lingkaran kejar-kejaran ini lumrah ditemui di berbagai pelosok di Indonesia. Oleh karenanya program pemberdayaan masyarakat idealnya digalang untuk berjalan dalam waktu panjang. Karena proses pendekatan, seperti yang siang itu saya lakukan kepada Rimba dan Zandy, memang tidak bisa secepat merebus mie instan, lima menit jadi, sepuluh menit kenyang.

Andai semudah itu…

Sepucuk Surat dan Khayalan tentang Masa Depan

Bagi saya dan teman-teman, hadir ke Sebatang bukan hanya perkara menyisihkan budget untuk transportasi dan waktu akhir pekan untuk berjalan lebih jauh. Tapi melihat bahwa ruang interaksi kami yang sempit ternyata bisa menjadi lebar jika sudah bertemu. Jika sudah kenal, dekat, saling percaya, maka fungsi pendampingan menjadi sesederhana menjadi teman sepermainan bagi semua pihak yang sedang berjuang di sana.

Salah satu usaha pendekatan yang kami lakukan adalah mengirimi surat motivasi kepada adik asuh di sana. Beberapa teman juga menjembatani tukar sapa antara teman-teman di UK dari asosiasi alumni LPDP, Mata Garuda, yang mengirimkan kartu pos kepada mereka. Semua anak mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika saya tanya siapa yang ingin ke Inggris. Sebelumnya, Mas Sandro bercerita di depan kelas tentang empat musim di Inggris ketika dia tinggal dan bekerja di sana. Surat dan cerita jadi bahan bakar kami mengkhayal tinggi-tinggi. Ke negeri yang tanahnya belum tersentuh, yang namanya tersohor lewat olahraga sepak bola yang setiap sore dimainkan anak-anak di Sebatang.

Zandy (baju hijau), adiknya (baju putih), temannya (baju merah), dan saya yang berjuang keras menarik perhatian mereka dengan topeng gorila

Mungkin karena itu, sepulang sekolah, Zandy yang ibunya sudah bertahun-tahun tidak pulang karena bekerja di Hongkong, menulis surat balasan untuk Rizka dan menyerahkannya tanpa suara.


Halo Kak Rizka,

Ini Zandy. Ini ada surat untuk Kak Rizka.

Semoga Kak Rizka bisa tersenyum.

Semoga Kak Rizka semangat kuliyahnya.

Kalau aku di Sebatang Belajar untuk meraih cita-cita ku. Saya belajar mahrib sampai insyak. Aku Juga Belajar dengan tekun.

Salam

Zandy

Tanda tangan


“Terima kasih ya, Zandy. Suratmu bagus sekali.” Rizka memeluk adik asuhnya di depan saya. Zandy hanya diam, tertunduk. Sedetik kemudian ia mulai terisak, menggulirkan butir-butir bening dari matanya yang mendung dan basah. Entah karena malu atau karena berharap suatu saat, ibunya yang mengirimkan surat dan memuji surat balasannya. Rizka ikut menitikkan air mata, sementara di luar hujan masih turun dengan derasnya.

Di sudut rumah yang dipenuhi mainan yang dikirimkan dari Hongkong, hari itu saya mencoba memahami, Zandy lebih suka bermain di luar, menerbangkan layangan sekaligus khayalan. Mungkin ada pesan yang tidak terucapkan dengan kata, yang hanya bisa dimengerti oleh angin dan dua musim di bawah langit Sebatang.

Senyap karena Zandy dan Rizka masih menangis tanpa suara, saya yang merasa canggung lalu menepuk-nepuk pundak mereka berdua sambil bersenandung pelan.

“Bermain… Berlari… Bermain layang-layang.

Bermain ku bawa ke tanah lapang.

Hati gembira dan riang…”

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *