Dua yang Tertinggal di Ujung Barat
Sabtu, 20 Juni 2015. Hari dimulai lebih awal bagi Esti Tri Widyastuti, Mira Caliandra, Rahma Islami Lukitasari, Rimadina Nawangwulan, Rizka Oktariani, dan Tedi Jaedi. Mereka beranjak lebih cepat dari rumah untuk berjumpa di titik temu di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan. Mereka bersiap menuju provinsi paling barat Jawa, Banten.
Mereka adalah tim survei peserta Pembekalan Keberangkatan (PK) Angkatan 37 Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Kegiatan ini wajib diikuti para penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) LPDP. Keenam orang ini tengah mengawali sebuah proyek besar yang ditugaskan LPDP: Menyapa Indonesia. Mereka berangkat pukul enam pagi dari Jakarta Selatan dengan menggunakan mobil sewaan. Empat jam harus mereka lahap untuk sekali perjalanan.
Banten sendiri memiliki sejarah yang bergejolak. Semesta tahu, Banten adalah tanah para jawara dan ulama. Namun, di tanah itu tertumpah rupa-ragam masalah. Sartono Kartodirdjo, sejarawan kenamaan, mengambil Banten sebagai lokus disertasinya. Dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (2015), ia bertutur tentang situasi tidak tenteram masyarakat akibat bercokolnya penguasa asing di sana. Benturan terjadi antara tradisi dan modernitas. Kulminasi benturan dan pertemuannya dengan kepentingan segelintir elit masyarakat itu berujung pemberontakan. Demikian halnya dengan Pramoedya Ananta Toer yang berkisah tentang keresahan masyarakat Banten Selatan yang dililit kemiskinan akibat ulah penguasa. Situasi tersebut berbanding terbalik dengan melimpahnya hasil bumi serta kesuburan tanahnya. Pram mengulas hasil kunjungannya pada sekitar tahun 1957 itu dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan (2004). Mereka gundah dengan kemiskinan serta jeratan penguasa lalim yang mencekik roda kehidupan sehari-hari.
Kondisi itu adalah kisah masa lalu. Kini, Banten tengah berbenah. Sayangnya, kondisi yang digambarkan oleh Sartono dan Pram masih saja tampak di tanah ini. Mereka masih terbelenggu kemiskinan. Setidaknya, itu terasa di dua desa yang tim survei kunjungi: Cikumbueun dan Ramea. Dua desa yang dianggap paling tertinggal di Banten.
Desa-desa tersebut merupakan salah dua dari lima belas desa yang terdapat di Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang. Berdasarkan Laporan Site Visit Assessment yang disusun tim survei, kedua desa itu memiliki permasalahan yang serupa, namun tak persis sama. Hal yang menjadi perhatian tim survei saat mengunjungi kedua desa itu adalah infrakstruktur yang buruk. Menurut Tedi Jaedi, salah seorang tim survei saat dihubungi melalui aplikasi bincang, mengatakan kondisi desa-desa sangat memprihatinkan. “Sudah sekitar sepuluh tahun,” terang Tedi, “warga hidup dengan infrastruktur jalan yang rusak parah.”
Kondisi buruk ini juga diamini dan diperkuat oleh salah satu anggota tim survei yang lain, Rimadina Nawangwulan. Menurut Dina, begitu dia disapa, selain jalan yang rusak, kedua desa ini tidak memiliki sarana Mandi Cuci Kakus (MCK), tidak ada pengelolaan sampah, dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengubah situasi yang ada. Rizka Oktarianti memilki kesan yang sama. Dengan nada guyon, gadis berjilbab ini berkata, “Kita ke situ kayak lagi rafting, tapi di darat.”
Kunjungan mereka pagi itu dimulai di Cikumbueun dan kemudian ke Ramea, desa tetangganya yang berjarak kurang lebih dua kilometer.
Desa Cikumbueun
Esti Tri Widyastuti tak mengira bahwa Cikumbueun terletak sangat jauh. Butuh waktu sekitar satu setengah jam dari Pasar Pari. Pasar itu, yang pernah terbakar pada 2011 dan membakar puluhan kios di sana, merupakan salah satu pusat ekonomi di Kecamatan Mandalawangi. Begitu tiba di Cikumbueun, Esti dan teman-temannya disambut hangat dan terbuka oleh perangkat desa. “Dengan jujurnya, mereka menceritakan kondisi desa mereka yang sangat mengharukan bagi saya,” jelas Esti.
Berdasarkan pengamatan tim yang dituangkan di dalam laporan mereka, sebagian besar lahan desa hanya cocok dipakai untuk berkebun dan sedikit untuk pertanian. Dibanding kan Ramea, wilayah Cikumbueun ini dapat dikatakan tidak subur. Rizka melihat desa ini sebagai daerah gersang dan panas. “Karena tidak ada sawah basah,” terangnya. Selain masalah lahan yang tidak subur, rupanya masalah penting nonfisik pun dialami oleh warga: pola pikir yang terbelakang. Masyarakat cenderung menginginkan cara instan untuk mendapatkan penghasilan. Salah satu caranya adalah dengan menebang pohon dan menjual hasil tani secara mentah tanpa berusaha mengolahnya terlebih dahulu. Mereka kurang memiliki keinginan untuk maju dan cenderung pasrah dengan keadaan yang ada.
Dari segi pendidikan, Cikumbueun adalah desa dengan mayoritas pendidikan SMP. Menurut Eman Sulaeman, tokoh masyarakat yang diwawancarai oleh tim survei jumlah guru sudah memadai dan proporsional dengan jumlah siswa. Desa ini memiliki beberapa sekolah di berbagai tingkatan. Sayangnya, minat baca warga sangat rendah. Perpustakaan (yang jumlahnya tidak banyak), dibiarkan melapuk dan buku-buku koleksinya tak dijamah.
Tingkat pendapatan ekonomi warga pun tergolong rendah. Hal yang wajar karena sejurus dengan tingkat pendidikan yang juga tidak tinggi. Mata pencaharian mereka adalah bertani. Komoditas yang dikembangkan adalah cengkih , kakao, pisang dan kelapa. Pertanian basah tidak dapat dikembangkan karena sistem pengairan yang buruk dan tidak tersedianya air setiap saat.
Dari aspek kesehatan, Cikumbueun tak pelak juga memprihatinkan. Warga hanya memiliki satu Pusat Kesehatan Desa (Puskesdas) yang dikepalai seorang bidan. Kita rasanya harus mafhum jika warga lebih banyak pergi ke dukun untuk melakukan persalinan. Puskesdas akan merujuk ke Puskesmas jika warga menderita masalah kesehatan serius. Sayangnya, lagi-lagi persolalan jarak dan sarana jalan yang buruk membuat warga kesulitan mencapai fasilitas kesehatan yang lebih baik. TBC menjadi penyakit yang menyeramkan di wilayah ini.
Masalah infrastruktur memang menjadi isu utama yang seolah tidak berujung. Sudah berkali-kali masyarakat Cikumbueun mengeluhkan mobilitas mereka terhambat, terutama untuk melakukan aktivitas ekonomi akibat jalan yang rusak. Kerusakan itu terbentang sepanjang lima kilometer melintasi Jalan Apus-Pematang Hilir.
Desa Ramea
Setelah menghabiskan beberapa waktu di Cikumbueun, tim bergerak menuju Ramea. Agak sedikit berbeda dengan desa pertama yang diamati, Ramea tampak lebih asri dan hijau.
Mira Caliandra menggambarkan Ramea sebagai kecantikan lugu yang tersembunyi. “Persawahannya terhampar indah, mata airnya bersih, hasil tani serta kebunnya pun kaya,” jelas Mira saat ditanya kesannya terhadap desa itu. Sayangnya, kecantikan ini tertutup karena akses jalan ke lokasi yang sulit. Jalanan berbatu dan terjal. Untungnya, warga Ramea memiliki semangat untuk lebih maju. Hal ini dibuktikan Mira saat di lapangan. Ia juga melihat semangat gotong royong warga Ramea masih kuat. Antusiasme warga terlihat saat pendampingan yang dilakukan oleh Petani Sehat Indonesia (PSI). Salah satu program yang tengah digalakkannya saat ini adalah pengembangan beras merah dan pupuk kompos. Kedua komoditas ini dipercaya dapat memacu masyarakat mencapai taraf kehidupan yang lebih berkualitas.
Seperti Cikumbueun, rata-rata warga Ramea berpendidikan SMP. Bertani adalah mata pencaharian sebagian besar warga disamping pekerjaan lain seperti buruh dan pedagang. Ramea yang kira-kira dapat ditempuh kendaraan mobil selama setengah jam dari Cikumbueun memiliki kendala yang juga besar: infrakstruktur. Tingkat kerusakan jalan lebih parah daripada Cikumbueun . Hampir seluruh jalan tak beraspal dan sebagian besar bebatuan. Pengaspalan terakhir, menurut informasi yang didapat tim survei dilakukan pada 2005. Pada tahun ini, kondisi tak banyak berubah. Jalan masih rusak parah.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah sanitasi. Hanya sepuluh persen dari total kepala keluarga yang memiliki MCK atau jamban pribadi. Umumnya, warga membuang hajat dengan mencari lahan kosong atau menggunakan fasilitas umum seperti mushola dan sekolah. Tentu saja kondisi ini miris. Di saat masyarakat modern mengagungkan kebersihan, warga Ramea masih terjerembab dengan persoalan sanitasi.
Hari mulai beranjak sore ketika tim menyelesaikan pengamatannya. Petang itu mereka kembali ke Jakarta dengan segudang catatan. Perbaikan jalan dinilai sangat vital untuk segera diatasi. Permasalahan lain seperti sanitasi juga layak mendapat perhatian.
Melihat keadaan ini, kita “tidak bisa ongkang-ongkang kaki sampai dilumat mati”, sebagaimana Pram mengingatkan melalui novel pendeknya. Dua desa tertinggal di Banten ini harus disapa lewat aksi nyata.